Munculnya berbagai macam jenis penyakit saat ini, semakin memicu alternatif pengobatan yang terjangkau dikalangan masyarakat. Biaya pengobatan rumah sakit yang cenderung mahal juga membuat masyarakat menggunakan alternatif pengobatan dengan berbagai metode. Mulai dari terapi, pijat hingga akupuntur. Berbagai jenis terapi yang saat ini banyak berkembang mulai dari terapi herbal, terapi ion, hingga terapi yang menggunakan sesuatu diluar akal sehat kita, seperti terapi batu Ponari atau terapi rel kereta api.
Terapi ion adalah metode terapi pengobatan terhadap penyakit yang ada didalam tubuh manusia dengan menggunakan elektroda, dimana racun penyakit yang ada didalam tubuh akan dikeluarkan melalui kaki. Pada saat pelaksanaan terapi ion, kedua kaki peserta diletakkan pada sebuah elektroda, setelah ± 30 menit, air yang merendam kaki pasien dan elektroda tersebut berubah dari jernih menjadi merah kekuning-kuningan. Zat warna inilah racun yang keluar dari tubuh pasien.
Alat terapi ion ini dapat dibeli sendiri, harganya pun bervariasi. Mulai dari ratusan hingga jutaan rupiah. Bagi yang tidak ingin membeli, cukup membayar Rp 100.000 – Rp 200.000 saja. Murah? Iya. Tapi tunggu dulu. Apakah sebenarnya alat ini benar-benar membawa manfaat dengan mengeluarkan racun dari tubuh dengan bantuan elektroda, atau itu hanya efek dari hal lain?
Berdasarkan penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Prof. Suhariningsih dan Drs. Tri Anggoro Prioyo dari Laboratorium Biofisika FMIPA – Universitas Airlangga Surabaya menyatakan bahwa, warna dan gelembung udara yang dihasilkan ketika terapi ion berasal dari anoda-katoda yang digunakan. Jadi gelembung tersebut bukan berasal dari interaksi antara anota-katoda-kaki yang menjadi media pembuangan racun penyakit dari tubuh.
Perubahan warna air rendaman tergantung dari jenis konduktor yang digunakan. Warna kekuning-kuningan/kemerahan/kecoklatan mengandung unsur Fe3+, air yang berwarna hijau mengandung Ni2+ dan Cl2, dimana Cl2 adalah gas yang sangat berbahaya. Ketika proses terapi, ion yang pertama kali dihasilkan adalah ion besi/Fe lalu diikuti dengan ion Ni/nikel.
Hal ini terlihat ketika gelembung warna yang keluar ketika menggunakan kaki atau tanpa menggunakan kaki terlihat sama. Jika asal bibit penyakit itu dari organ tubuh yang berbeda, kenapa warna gelembung udara yang dihasilkan tetap sama? Prof. Suhariningsih juga menyatakan bahwa penelitian ilmiah yang dilakukan ini semata-mata bukan untuk menjatuhkan metode terapi ion ini, melainkan hanya dengan tujuan untuk menginfokan kepada masyarakat sejauh apa manfaat yang diberikan terapi ion ini.
The Guardian bahkan sempat melakukan penelitian tehadap kandungan zat didalam air sebelum dan setelah digunakan. Hasilnya? Kandungan zat besi pada air setelah digunakan untuk terapi meningkat dan juga tidak ditemukan adanya urea dan kreatinin yang digembor-gemborkan sebagai media detoksifikasi racun penyakit dari dalam tubuh.
Sebuah situs alat kesehatan juga mempertanyakan kebenaran manfaat dari alat ini. Karena dari hasil penelitian yang dilakukan oleh tim ahli, terapi ion memiliki resiko, karena ketika proses terapi berlangsung terjadi pelepasan gas Klorin yang beracun dan Hidrogen yang sangat mudah terbakar. Penggunaan alat ini pada ruangan tertutup sangat berbahaya karena bisa menyebabkan keracunan oleh dua gas tersebut. Adanya sertifikasi Class Ila terhadap alat ini semakin membuai masyarakat. Tapi perlu diketahui bahwa sertifikasi ini hanya melakukan uji alat tanpa menyertakan uji klinis.
Dan sudah seharusnya kita sebagai pengguna pengobatan alternatif harus pintar dan jeli dalam memilih jenis pengobatan yang akan digunakan. Jangan begitu saja terbuai dengan iming-iming biaya yang murah dengan manfaat yang segudang, jika belum ada uji klinis yang terpercaya.