Gelar Pahlawan Nasional Indonesia adalah gelar tertinggi yang diberikan di Indonesia. Penghargaan anumerta ini diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada pahlawan Indonesia yang telah melakukan hal-hal kepahlawanan yang didefinisikan sebagai “Perbuatan yang dapat diingat dan dicontoh oleh rakyat sepanjang masa” – atau “jasa luar biasa demi kesejahteraan negara dan rakyat”.
Pangeran Antasari yang lahir di tahun 1809 dan meninggal tanggal 11 Oktober 1862, adalah seorang raja Banjar dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Antasari lahir tahun 1809.
Beliau merupakan anak laki-laki dari Pangeran Mashud dan cucu dari Pangeran Amir. Beliau adalah seorang pangeran berdarah biru, keluarganya telah memerintah sejak sejak abad ke-18.
Antasari sangat risau mengenai pemberian tahta pada Sultan Tamjid (atau Tamjidillah), yang seharusnya diberikan kepada Pangeran Hidayat (atau Hidayatullah), sebagai pengganti Sultan Adam di Banjar pada tahun 1859; Pemberian tahta Tamjidillah didukung oleh penjajah Belanda, yang menggunakan politik pecah belah untuk mempermudah keinginan mereka mengambil alih Kalimantan.
Ketika Antasari berniat mengusir Belanda, beliau bekerja sama dengan para penguasa Martapura, Kapuas, Pelaihari, Barito, dan Kahayan. Beliau juga didukung oleh Hidayatullah dan Demang Leman.
Pada 18 April 1859, Perang Banjarmasin pecah, pasukan Antasari terdiri dari 6.000 prajurit. Perang ini merupakan Perang antara pasukan Antasari dengan Belanda. Perang ini terjadi di Kalimantan Selatan dan tengah. Pasukan Antasari menyerang Belanda di Gunung Jabuk dan juga tambang batu bara Belanda di Pengaron. Pasukan lainnya menyerang pos-pos Belanda lainnya.
Mereka juga menyerang kapal-kapal Belanda, membunuh Letnan Van der Velde dan Bangert ketika mereka menenggelamkan kapal Onrust pada Desember 1859. Antasari menolak usaha Belanda untuk bernegosiasi untuk menghentikan perang, dengan tawaran uang dan kekuasaan sebagai ganti penyerahan dirinya.
Di awal Agustus 1860, pasukan Antasari sedang berada di Ringkau Katan. Mereka dikalahkan dalam perang pada 9 Agustus, setelah pasukan bantuan Belanda tiba dari Amuntai. Hidayatullah diasingkan ke Jawa, tapi Antasari, bersama dengan Pangeran Miradipa dan Tumenggung Mancanegara, mempertahankan benteng Tundakan pada 24 September 1861.
Beliau juga mempertahankan benteng di Gunung Tongka pada 8 November 1861 bersama dengan Gusti Umar dan Tumenggung Surapati.
Pada Oktober 1862, Antasari merencanakan serangan besar-besaran. Namun, wabah cacar merajalela dan menyebabkan kematiannya pada tanggal 11 Oktober 1862. Beliau dimakamkan di Banjarmasin; dan beberapa panglima perang lain, dari periode-periode berbeda, kemudian juga dimakamkan di sana; tempat tersebut kemudian dinamakan Taman Makam Pahlawan Antasari. Setelah kematian Antasari, anak laki-lakinya, Muhammad Seman, melanjutkan perjuangannya melawan Belanda. Perlawanan berakhir ketika Seman meninggal pada tahun 1905.
Antasari dianugerahkan sebutan ‘Panembahan Amiruddin Khaliful Mukmin’ pada 14 Maret 1862 oleh rakyatnya, yang menganggapnya sebagai pemimpin beriman bagi rakyatnya. Beliau dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia di tahun 1968 oleh Presiden Suharto melalui Dekrit Presiden No. 06/TK/1968.
Di pertengahan 1990-an sebuah dokumentasi mengenai kehidupan Antasari dibuat. Antasari muncul di pecahan mata uang sebesar 2.000 rupiah pada tahun 2009, yang di sisi lainnya menampilkan gambar penari Kalimantan.
